Rabu, 05 November 2014

Tak Akan Kuulangi Lagi



Biasanya sepulang sekolah Fadil merengek minta makan. Tidak hanya itu, ia minta disuapi ibunya. Tidak peduli ibunya sedang repot mengurusi adiknya atau tidak. Padahal ia sudah SMP. Akan tetapi, sudah beberapa hari ini Fadil punya kebiasaan baru. Sepulang sekolah ia cepat-cepat makan. Begitu selesai ia berlari menuju ke tanah lapang. Di tangannya tergenggam sebuah layang-layang dan gulungan benang. Sore hari ia baru pulang.
                Ibu Fadil sebenarnya tidak begitu senang Fadil bermain seharian. Tetapi hal itu disimpannya dalam hati. Pikirnya, biarlah Fadil berbuat sesukanya untuk sementara. Yang penting Fadil sudah mau makan sendiri. Nantinya Fadil akan dinasihati sedikit demi sedikit agar tidak bermain seharian.
                Musim hujan memang baru saja lewat, dan musim kemarau baru tiba. Langit cerah dan angin bertiup kencang, saat yang tepat untuk bermain layang-layang.
                Siang ini, bel tanda sekolah usai berbunyi. Suasana kelas delapan tujuh menjadi gaduh. Ada yang berteriak-teriak dan wajah murid-murid terlihat cerah. Tetapi wajah Fadil yang paling cerah. Ia ingin segera pulang, makan, dan bermain. Fadil ingin mencoba layangan barunya. Ia berharap kali ini bisa menang, karena kemarin layang-layangnya rusak dan benangnya pun putus.
                Setiba dirumah, Fadil berganti pakaian. Lalu ia makan dengan cepat. Sebentar kemudian Fadil sudah siap dengan layang-layang dan benang di tangan. Tiba-tiba terdengar teriakan ibunya “Fadil tolong tunggu adikmu sebentar, ibu akan ke kamar mandi” Fadil meletakkan benang dan layang-layangnya. Dari wajahnya jelas kalau hatinya kesal. Tetapi ia menurut dan menuju ke kamar Raisa, adiknya. Fadil menunggui adiknya di tempat tidur. Raisa baru berumur delapan bulan. Ia sudah bisa merangkak, kalau merangkak cepat sekali. Raisa jarang bisa diam. Setiap kali Raisa merangkak ke tepi tempat tidur, Fadil mengangkatnya ke tengah. Fadil sayang sekali pada adiknya. Sudah lama sekali Fadil mengharapkan seorang adik, dan harapannya itu akhirnya terkabul.
                Raisa kembali merangkak ke tepi tempat tidur, Fadil akan bergerak mengangkatnya. Tetapi niatnya itu diurungkan, di tepi tempat tidur ada bantal, Raisa terhalang lalu duduk diam.
Fadil kegirangan. Seperti disuruh, Fadil meletakkan bantal dan guling di sekeliling tempat tidur. Sekarang Raisa berada di tengah tempat tidur dikelilingi bantal dan guling. Setelah menyentuh pipi adiknya, Fadil berlari meninggalkan rumah. Di tangan kanannya ada gulungan benang dan di tangan kirinya layang-layang.
                Layang-layang Fadil naik dengan cepat. Fadil tersenyum. Tiba-tiba Fadil merasa pundaknya ditepuk seseorang. Ia menoleh. Bayu, teman dekatnya, telah berdiri di sampingnya. Bayu baru saja datang. “ada apa?” tanya Fadil. “pulanglah. Adikmu menangis sangat keras” ujar Bayu. “aku tadi melewati rumahmu,” lanjut Bayu. “kudengar suara tangis adikmu keras sekali.”
                Fadil merasa seperti disambar petir, ia yakin adiknya jatuh dari tempat tidur. Pikirannya membayangkan yang tidak-tidak. Seketika itu juga ia berlari pulang. Benang layang-layangnya diserahkan pada Bayu.
                Perkiraan Fadil benar, Raisa jatuh dari tempat tidur, dahinya berdarah. “maafkan Fadil mah.....” kata Fadil sambil menangis di hadapan ibunya. “Fadil menyesal sekali telah meninggalkan adik. Fadil berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Ibu Fadil tersenyum, ia tidak marah. Baginya penyesalan Fadil sudah lebih dari cukup, ia merasa Fadil sudah belajar banyak.
                Luka di kening Raisa tidak parah, tangisnya juga sudah berhenti. Ibu menyerahkannya pada Fadil. Segera Fadil mendekap adiknya sangat erat dan ia mencium kedua pipi adiknya. Dalam hati Fadil berjanji tidak akan meninggalkan adiknya lagi. Ibu Fadil tersenyum melihat adegan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar