Biasanya sepulang sekolah Fadil
merengek minta makan. Tidak hanya itu, ia minta disuapi ibunya. Tidak peduli
ibunya sedang repot mengurusi adiknya atau tidak. Padahal ia sudah SMP. Akan
tetapi, sudah beberapa hari ini Fadil punya kebiasaan baru. Sepulang sekolah ia
cepat-cepat makan. Begitu selesai ia berlari menuju ke tanah lapang. Di
tangannya tergenggam sebuah layang-layang dan gulungan benang. Sore hari ia
baru pulang.
Ibu Fadil
sebenarnya tidak begitu senang Fadil bermain seharian. Tetapi hal itu
disimpannya dalam hati. Pikirnya, biarlah Fadil berbuat sesukanya untuk sementara.
Yang penting Fadil sudah mau makan sendiri. Nantinya Fadil akan dinasihati
sedikit demi sedikit agar tidak bermain seharian.
Musim
hujan memang baru saja lewat, dan musim kemarau baru tiba. Langit cerah dan
angin bertiup kencang, saat yang tepat untuk bermain layang-layang.
Siang
ini, bel tanda sekolah usai berbunyi. Suasana kelas delapan tujuh menjadi
gaduh. Ada yang berteriak-teriak dan wajah murid-murid terlihat cerah. Tetapi
wajah Fadil yang paling cerah. Ia ingin segera pulang, makan, dan bermain. Fadil
ingin mencoba layangan barunya. Ia berharap kali ini bisa menang, karena
kemarin layang-layangnya rusak dan benangnya pun putus.
Setiba
dirumah, Fadil berganti pakaian. Lalu ia makan dengan cepat. Sebentar kemudian
Fadil sudah siap dengan layang-layang dan benang di tangan. Tiba-tiba terdengar
teriakan ibunya “Fadil tolong tunggu adikmu sebentar, ibu akan ke kamar mandi”
Fadil meletakkan benang dan layang-layangnya. Dari wajahnya jelas kalau hatinya
kesal. Tetapi ia menurut dan menuju ke kamar Raisa, adiknya. Fadil menunggui
adiknya di tempat tidur. Raisa baru berumur delapan bulan. Ia sudah bisa
merangkak, kalau merangkak cepat sekali. Raisa jarang bisa diam. Setiap kali
Raisa merangkak ke tepi tempat tidur, Fadil mengangkatnya ke tengah. Fadil
sayang sekali pada adiknya. Sudah lama sekali Fadil mengharapkan seorang adik,
dan harapannya itu akhirnya terkabul.
Raisa
kembali merangkak ke tepi tempat tidur, Fadil akan bergerak mengangkatnya.
Tetapi niatnya itu diurungkan, di tepi tempat tidur ada bantal, Raisa terhalang
lalu duduk diam.
Fadil kegirangan. Seperti disuruh, Fadil meletakkan bantal
dan guling di sekeliling tempat tidur. Sekarang Raisa berada di tengah tempat
tidur dikelilingi bantal dan guling. Setelah menyentuh pipi adiknya, Fadil
berlari meninggalkan rumah. Di tangan kanannya ada gulungan benang dan di
tangan kirinya layang-layang.
Layang-layang
Fadil naik dengan cepat. Fadil tersenyum. Tiba-tiba Fadil merasa pundaknya
ditepuk seseorang. Ia menoleh. Bayu, teman dekatnya, telah berdiri di
sampingnya. Bayu baru saja datang. “ada apa?” tanya Fadil. “pulanglah. Adikmu
menangis sangat keras” ujar Bayu. “aku tadi melewati rumahmu,” lanjut Bayu.
“kudengar suara tangis adikmu keras sekali.”
Fadil
merasa seperti disambar petir, ia yakin adiknya jatuh dari tempat tidur.
Pikirannya membayangkan yang tidak-tidak. Seketika itu juga ia berlari pulang.
Benang layang-layangnya diserahkan pada Bayu.
Perkiraan
Fadil benar, Raisa jatuh dari tempat tidur, dahinya berdarah. “maafkan Fadil
mah.....” kata Fadil sambil menangis di hadapan ibunya. “Fadil menyesal sekali
telah meninggalkan adik. Fadil berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Ibu
Fadil tersenyum, ia tidak marah. Baginya penyesalan Fadil sudah lebih dari
cukup, ia merasa Fadil sudah belajar banyak.
Luka di
kening Raisa tidak parah, tangisnya juga sudah berhenti. Ibu menyerahkannya pada
Fadil. Segera Fadil mendekap adiknya sangat erat dan ia mencium kedua pipi
adiknya. Dalam hati Fadil berjanji tidak akan meninggalkan adiknya lagi. Ibu
Fadil tersenyum melihat adegan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar